Pajak Marketplace Freelancer

sst8.com Pajak Marketplace Freelancer – Siapa yang Nanggung?

Freelancer tuh sekarang udah kayak lifestyle. Banyak anak muda yang cabut dari kantor, banting setir jadi pekerja lepas. Mereka nongkrong di marketplace digital kayak Upwork, Fiverr, Fastwork, Sribulancer, sampai LinkedIn Projects. Buat sebagian orang, ini surga: kerja dari mana aja, atur jam sendiri, klien bisa global.

Tapi balik lagi ke satu hal yang bikin orang mendadak keringetan: pajak. Pertanyaan klise tapi pedih: siapa yang sebenernya harus nanggung pajak di marketplace freelancer? Freelancer itu sendiri? Atau platform digital kayak Upwork cs juga punya beban? Atau malah klien yang bayar harga akhir harus ikut urunan?


Freelancer Marketplace: Mesin Ekonomi Baru

Marketplace freelance itu sebenernya model bisnis yang genius. Platform jadi perantara antara dua pihak: klien yang butuh jasa dan pekerja lepas yang jual skill. Mereka ambil potongan fee, biasanya 10–20% dari pembayaran freelancer.

Contoh gampang: lo dapat project desain logo $500 di Upwork. Klien bayar full $500. Tapi duit yang nyampe ke rekening lo gak segitu. Platform potong $50–$100, sisanya baru lo terima.

Nah, potongan itu sebenernya udah kayak “pajak privat”. Tapi negara gak bisa tinggal diam. Negara pasti nanya: bagian gue mana?


Indonesia: Pajak Digital vs Pajak Freelancer

Di Indonesia, isu pajak freelancer di marketplace digital mulai serius sejak 2020, pas pemerintah ngenalin Pajak Digital. Semua platform asing yang dapet cuan dari Indonesia harus bayar PPN 11%. Jadi kalau lo transaksi di platform kayak Fiverr atau Upwork, sebetulnya mereka udah nyalurin PPN ke DJP.

Tapi di luar itu, freelancer sendiri tetep punya kewajiban bayar pajak penghasilan. Dua layer langsung:

  1. PPN untuk platform (ditanggung pengguna/klien).
  2. PPh untuk freelancer (ditanggung si pekerja).

Di sini mulai keliatan kompleks. Freelancer sering ngerasa: gue udah dipotong sama platform, kenapa masih harus bayar pajak lagi ke negara?


Global: Model Potong di Muka

Kalau kita bandingin global, ada model beda.

  • AS: Freelancer wajib lapor penghasilan global. Marketplace kayak Upwork kasih Form 1099-K ke IRS (pajak mereka). Jadi data income freelancer udah otomatis nyambung ke sistem pajak.
  • Eropa: Ada aturan DAC7, yang bikin marketplace digital wajib lapor data transaksi freelancer ke otoritas pajak Eropa. Jadi freelancer gak bisa sembunyi.
  • India: Lebih ekstrim. Marketplace wajib potong pajak langsung (TDS – Tax Deducted at Source) dari pembayaran freelancer. Jadi freelancer dapet uang bersih setelah pajak diambil.

Kalau model India ini diadopsi di Indo, siap-siap saldo freelancer makin tipis karena pajak langsung diambil sebelum duit nyampe rekening.


Siapa yang Sebenernya Nanggung?

Pertanyaan inti: pajak marketplace freelancer itu beban siapa?

  1. Platform → Udah pasti kena PPN. Kalau platform asing, mereka wajib tunjuk perwakilan di Indo dan setor PPN ke DJP. Tapi mereka biasanya oper beban ke pengguna. Jadi klien/freelancer yang akhirnya bayar lebih mahal.
  2. Freelancer → Tetep harus lapor penghasilan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Bisa pake skema PPh Final 0,5% kalau omzet di bawah Rp4,8 Miliar setahun.
  3. Klien → Secara gak langsung, klien juga kena karena harga project jadi lebih mahal akibat tambahan PPN.

Artinya, semua pihak ikut nanggung. Tapi freelancer sering merasa paling “terjepit” karena kena potongan dari dua sisi: dari platform dan dari pajak negara.


Studi Kasus Freelancer Indo di Marketplace Global

Bayangin skenario ini:

  • Seorang freelancer Indo dapet project $1.000 dari klien US lewat Upwork.
  • Upwork potong 20% = $200. Jadi saldo freelancer tinggal $800.
  • Dari $800 ini, freelancer Indo masih wajib lapor ke DJP. Kalau pake PPh Final, dia bayar 0,5% x Rp12 juta (asumsi kurs Rp15.000/USD). Itu sekitar Rp60 ribu.

Di atas kertas, Rp60 ribu keliatan kecil. Tapi jangan lupa, Upwork udah potong $200 di awal. Buat freelancer pemula, ini berasa banget.

Bandingin dengan India. Freelancer India dapet $1.000, langsung dipotong TDS 10% = $100, lalu fee platform. Jadi mereka langsung kena di muka.


Marketplace Lokal: Sribulancer, Projects.co.id, Fastwork

Kalau di Indo, platform lokal juga gak bebas. Mereka harus potong PPN 11% atas fee platform. Selain itu, ada kemungkinan mereka jadi pemotong PPh Pasal 23 atas jasa kalau klien perusahaan.

Contoh: lo dapet project Rp10 juta di Sribulancer. Klien perusahaan bisa aja wajib potong PPh 2% sebelum bayar. Jadi saldo lo udah kepotong sebelum masuk rekening.

baca juga


Fair atau Enggak?

Sistem sekarang sering bikin freelancer mikir: kok gue yang selalu jadi korban? Platform untung besar, negara dapet PPN, klien dapet hasil kerja, tapi freelancer selalu kena potong paling banyak.

Di negara maju, fairness agak lebih dapet. Freelancer bisa claim biaya operasional: internet, laptop, software, bahkan listrik. Jadi pajak dihitung dari laba bersih, bukan omzet.

Di Indo, kalau freelancer pilih skema PPh Final 0,5%, gak ada ruang claim biaya. Lo bayar dari omzet kotor.


Isu Cross-Border Tax

Freelancer Indo yang main global sering stuck di double taxation. Misalnya klien dari negara yang gak punya tax treaty dengan Indo. Bisa aja penghasilan lo kena potong di negara asal klien, terus lo masih wajib lapor di Indo.

Contoh: freelancer dapet project dari Kanada. Kanada potong pajak 15% di muka. Tapi di Indo, lo tetep wajib lapor. Untungnya ada perjanjian pajak berganda (DTA). Kalau enggak, lo bisa bayar pajak dua kali.


Tren Regulasi 2025–2026

Indonesia keliatannya bakal ngikut tren global. Ada kemungkinan marketplace freelancer diwajibin share data transaksi ke DJP. Jadi kayak DAC7 versi Indo. Ini bakal bikin penghasilan freelancer makin transparan.

Selain itu, ada wacana bikin aturan potong pajak langsung di marketplace. Artinya, sebelum freelancer cairin saldo ke rekening, pajak udah dipotong otomatis. Mirip kayak TDS di India.

Kalau ini jadi kenyataan, freelancer harus mikir ulang strategi finansial. Pajak gak bisa lagi “diakalin” atau diundur. Semua udah ke-detect real time.


Dampak Sosial & Ekonomi

Kalau pajak freelancer makin ketat, ada dua kemungkinan dampak:

  1. Positif: Negara dapet penerimaan baru, sistem lebih adil, freelancer bisa masuk ke ekosistem formal. Bisa lebih gampang akses kredit bank karena income mereka resmi tercatat.
  2. Negatif: Freelancer kecil bisa kabur ke jalur underground. Mereka transaksi langsung di luar platform biar gak kena potong pajak.

Pemerintah harus hati-hati. Kalau pajak terlalu nyekek, justru kontraproduktif.


Haruskah Freelancer Lawan atau Adaptasi?

Realitanya, freelancer gak bisa lari. Dunia makin digital, pajak makin presisi. Jalan paling realistis: adaptasi.

Freelancer harus mulai rajin catet income, biaya operasional, dan ngerti aturan pajak dasar. Kalau perlu, mereka bisa dorong asosiasi freelancer buat lobi ke pemerintah supaya ada skema pajak lebih fair. Misalnya: pajak dari laba bersih, bukan omzet.

Platform juga gak bisa lepas tangan. Mereka harus lebih transparan soal potongan, dan mungkin kasih opsi otomatis buat setor pajak freelancer.


Penutup

Pajak marketplace freelancer bukan sekadar angka. Ini soal siapa yang sebenernya nanggung beban dari ekonomi digital baru. Saat ini, bebannya jatuh paling berat ke freelancer.

Platform oper biaya ke pengguna, negara nuntut bagian, klien tetep maunya harga murah. Ujung-ujungnya, freelancer yang kepotong paling banyak.

Tapi ada sisi terang: kalau sistem pajak makin rapi, freelancer bisa dapet benefit jangka panjang. Income resmi, akses finansial lebih luas, bahkan perlindungan sosial.

Jadi, jawaban dari pertanyaan “siapa yang nanggung pajak marketplace freelancer?” sebenernya simple tapi nyesek: semua ikut nanggung, tapi freelancer yang paling berat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top