Konsultan Pajak Jakarta – Pajak Driver Online – Insentif atau Beban? Pernah gak lo naik ojol tengah malam, ngobrol random sama drivernya, terus mereka curhat soal orderan sepi, bensin naik, tapi pajak tetep jalan? Realita pahitnya gitu. Driver online kayak Grab, Gojek, Maxim, sampe ShopeeFood itu sekarang udah jadi urat nadi transportasi dan logistik di Indonesia. Mereka bukan cuma nganterin orang, tapi juga makanan, paket, bahkan jadi lifeline buat UMKM.
Nah, di balik itu semua ada pertanyaan besar: harusnya pajak buat driver online tuh jadi insentif atau beban?
Apalagi sekarang di 2025, isu pajak digital, pajak gig economy, sampe pajak platform udah mulai digas pol sama DJP. Driver online otomatis masuk radar. Tapi cara pandangnya bisa beda-beda: ada yang bilang driver harus bayar pajak biar adil, ada yang bilang mereka justru harus dapet keringanan karena posisinya masih rapuh.
Mari kita bedah tuntas.
Driver Online: Pekerja Bebas atau Karyawan?
Pertama-tama, status driver online itu sendiri udah ribet. Mereka sering dibilang “mitra”, bukan karyawan. Kenapa? Karena kalau dianggap karyawan, platform kayak Grab atau Gojek wajib bayar gaji tetap, BPJS, THR, dan benefit lain. Dengan label “mitra”, semua itu dipotong.
Dari sisi pajak, ini tricky.
- Kalau karyawan → kena PPh 21. Pajaknya dipotong langsung sama perusahaan.
- Kalau pekerja bebas/mitra → harus lapor dan bayar sendiri.
Nah, driver online jelas masuk kategori pekerja bebas. Jadi pajaknya masuk ke PPh Orang Pribadi Non-Karyawan.
Skema Pajak Driver Online
Aturannya lumayan straight-forward:
- Kalau penghasilan < Rp60 juta per tahun → gak kena pajak (karena masih di bawah PTKP).
- Kalau lebih dari itu → kena tarif progresif 5–35%.
Masalahnya, banyak driver online penghasilannya gak pasti. Kadang sehari bisa Rp200 ribu, kadang cuma Rp50 ribu. Bensin, servis motor, pulsa, makan di jalan — semua itu biaya operasional. Tapi di sistem pajak Indonesia, mereka jarang banget bisa klaim expense secara detail.
Contohnya:
- Driver full time, sehari dapet Rp250 ribu.
- Sebulan kerja 25 hari → Rp6,25 juta.
- Setahun → Rp75 juta.
- Secara bruto, udah lewat PTKP.
Tapi kalo dihitung biaya bensin, servis motor, cicilan HP, bisa jadi sisanya gak gede. Pertanyaannya: apakah pajaknya dihitung dari bruto atau neto? Nah, di sini sering bikin ribut.
baca juga
- Apakah Gig Worker Perlu SPT Tahunan?
- Pajak TikTok Shop 2025
- Panduan Lapor PPN Online 2025 untuk Pebisnis dan UMKM
- Tarif PPh 21 Terbaru 2025
- Cara Isi SPT Tahunan Online 2025 untuk Karyawan dan UMKM
Simulasi Pajak Driver Online
Case 1: Driver Part Time
- Penghasilan: Rp30 juta/tahun.
- Masih di bawah PTKP (Rp60 juta).
- Pajak terutang = 0.
Case 2: Driver Full Time
- Penghasilan bruto: Rp90 juta/tahun.
- Biaya operasional (asumsi 40%): Rp36 juta.
- Penghasilan neto: Rp54 juta.
- Masih di bawah PTKP → pajak = 0.
Case 3: Driver Top Tier
- Penghasilan bruto: Rp150 juta/tahun.
- Biaya operasional 40%: Rp60 juta.
- Penghasilan neto: Rp90 juta.
- Pajak:
- Rp60 juta × 5% = Rp3 juta
- Rp30 juta × 15% = Rp4,5 juta
- Total = Rp7,5 juta/tahun (sekitar Rp625 ribu/bulan).
Kelihatannya gak gede, tapi buat driver, Rp600 ribu itu sama dengan bensin seminggu. Jadi terasa banget bebannya.
Pajak atau Retribusi?
Banyak driver mikir mereka udah bayar pajak tiap hari. Kok bisa? Karena:
- Beli bensin → udah kena PPN.
- Bayar cicilan motor → ada bunga dan administrasi.
- Top up saldo dompet aplikasi → ada biaya layanan.
- Perpanjang STNK → kena pajak kendaraan bermotor.
Mereka ngerasa udah bayar pajak dari segala sisi. Jadi waktu pemerintah ngomong “ayo bayar pajak penghasilan”, responsnya banyak yang sinis: “Lah, kita kan udah bayar banyak pajak tak kasat mata.”
Ini bikin trust issue makin tebel.
Perbandingan Negara Lain
Biar lebih objektif, coba lihat negara lain:
- AS: Driver Uber/Lyft dianggap independent contractor. Wajib lapor pajak tahunan. Tapi mereka bisa klaim semua expense: bensin, asuransi, depreciation mobil, bahkan botol air buat penumpang. Jadi pajak dihitung fair.
- UK: Sama, dianggap self-employed. Tapi ada allowance khusus buat “gig worker”.
- India: Pemerintah bikin skema TDS (Tax Deducted at Source) di platform ride-hailing. Jadi platform langsung potong pajak kecil dari setiap transaksi.
- Indonesia: Masih abu-abu. Kadang dibilang mitra, kadang dianggap pengusaha kecil. Belum ada skema khusus.
Jadi keliatan kan, di negara lain pajak driver online udah diatur detail. Indonesia masih transisi.
Insentif atau Beban?
Pertanyaan kuncinya: harusnya pajak ini bikin driver lebih maju atau malah jadi beban baru?
Argumen “Insentif”
- Kalau driver dianggap wajib pajak formal, mereka bisa dapet akses ke kredit bank, KUR, atau BPJS lebih gampang.
- Pajak bikin status mereka naik kelas, gak dianggap “sektor informal” lagi.
- Pemerintah bisa bikin program subsidi BBM khusus driver resmi.
Argumen “Beban”
- Income driver gak stabil. Kadang mepet, kadang minus.
- Potensi abuse dari platform → kalau pajak dibebanin ke driver, sementara platform lepas tangan.
- Driver udah bayar pajak lain secara gak langsung.
Peran Platform
Ini penting. Grab, Gojek, Maxim, ShopeeFood harusnya gak bisa lepas tangan. Mereka kan yang narik order, potong komisi, bahkan ngatur tarif. Harusnya mereka juga ikut tanggung jawab dalam urusan pajak.
Skema yang bisa diterapin:
- Platform jadi pemotong pajak langsung (kayak PPh 23).
- Driver tinggal terima bersih, gak pusing ngitung.
- Platform juga wajib report ke DJP soal income driver.
Kalau ini jalan, beban administrasi driver bisa lebih ringan.
Solusi Pajak Fair untuk Driver Online
- PPh Final Rendah
Misalnya 0,5% dari omzet bulanan. Gampang, driver gak perlu ribet hitung expense. - Deduction Biaya Otomatis
Pemerintah bisa kasih asumsi biaya 40% kayak norma penghitungan. Jadi driver otomatis dianggap punya expense segitu. - Integrasi Data Platform – DJP
Aplikasi ride-hailing otomatis nyambung ke DJP. Income driver langsung tercatat, transparan. - Subsidi Pajak Balik
Driver yang patuh pajak bisa dapet insentif, misalnya potongan BBM, cashback saldo aplikasi, atau prioritas order.
Studi Kasus: Pajak Grab & Gojek di 2024
Di 2024, sempet rame di media. Beberapa driver demo karena takut penghasilan mereka bakal kena pajak tambahan lewat platform. DJP bilang gak ada pajak baru, cuma penegakan aturan lama. Tapi trust udah keburu jatuh.
Di beberapa daerah, ada koperasi driver yang coba bikin skema pajak kolektif. Jadi driver setor bareng, biar lebih gampang. Tapi masih minim.
Masa Depan Pajak Driver Online di Indonesia
Prediksi gue di 2026 ke depan:
- Driver online bakal resmi dianggap gig worker formal.
- Ada NPWP khusus sektor transportasi digital.
- Pajak disederhanain: 0,5% final dari penghasilan.
- Platform diwajibkan jadi pemotong pajak otomatis.
- Driver patuh dapet benefit ekstra (subsidi, BPJS, akses kredit).
Kalau jalan, sistem ini bisa bikin ekosistem lebih adil. Driver gak merasa diperas, pemerintah tetep dapet pajak, platform gak lepas tangan.
Penutup
Jadi, pajak buat driver online sebenernya bisa jadi insentif kalau dirancang bener. Tapi bisa jadi beban kalau cuma dilempar ke driver tanpa solusi.
Driver online itu bukan sekadar profesi sementara. Mereka udah jadi backbone ekonomi urban. Kalau pemerintah pinter, pajak bisa jadi alat buat ningkatin kesejahteraan mereka, bukan ngurangin.
Pertanyaannya: pemerintah berani gak bikin sistem yang fair? Atau bakal terus ngebiarin driver ngerasa dipajakin tapi gak dapet apa-apa balik?
Karena ujung-ujungnya, pajak itu bukan cuma soal bayar, tapi soal trust.