sst8.com/ APBN Tanpa Sri Mulyani: Populisme vs Disiplin Fiskal, Krisis Kepercayaan Pajak, dan Reformasi di Persimpangan Jalan
Bayangin pagi di Jakarta yang lagi gerah. Berita breaking news muncul di layar TV, timeline X rame, semua grup WA politik-ekonomi meledak: Sri Mulyani mundur. Menteri Keuangan yang jadi wajah stabilitas fiskal Indonesia itu tiba-tiba pamit. Publik langsung heboh. Pasar modal gonjang-ganjing, kurs rupiah sempet goyah, investor asing nahan napas. Bukan sekadar pergantian pejabat, tapi kayak ada simbol besar yang hilang.
Buat banyak orang, SMI—begitu dia akrab disebut—itu bukan sekadar teknokrat. Dia udah kayak tameng, firewall terakhir buat jagain APBN tetap rasional, disiplin, gak kebablasan. Dan sekarang, pertanyaan besar langsung muncul: apa jadinya APBN tanpa Sri Mulyani? Apakah Indonesia siap masuk era populisme fiskal? Atau justru bakal ada regenerasi baru di kebijakan pajak dan keuangan negara?
APBN dan Dilema Populisme
APBN itu jantung negara. Setiap keputusan anggaran, dari subsidi BBM sampai pembangunan IKN, semuanya lewat APBN. Selama ini, Sri Mulyani dikenal tegas: disiplin, gak gampang goyah oleh tekanan politik. Kalau populisme fiskal ngajak nambah subsidi jor-joran, dia biasanya jadi rem.
Tapi pasca kepergian dia, ancaman populisme makin nyata. Bayangin menjelang 2026, tahun di mana pemilu lokal makin panas, janji politik bisa gampang banget dikasih: subsidi listrik diperbesar, BLT dinaikkan, utang dilonggarin. Semua demi jaga citra politik. Tanpa figur yang kredibel buat bilang “stop, gak sustainable”, APBN bisa jadi alat kampanye, bukan instrumen kebijakan.
Investor asing ngerti banget soal ini. Itu kenapa rating utang Indonesia bisa rawan digoyang. Fitch, Moody’s, atau S&P gak cuma lihat angka, tapi juga siapa yang pegang kendali. Kalau disiplin fiskal melemah, cost of borrowing naik, bunga surat utang ikut melonjak. Rakyat? Ujung-ujungnya yang kena.
Pajak dan Krisis Kepercayaan
Kalau ngomongin APBN, ya ujungnya balik ke pajak. Pajak itu sumber darah segar keuangan negara. Tanpa pajak yang kuat, defisit pasti melebar. Nah, di sini masalah makin kompleks.
Beberapa tahun terakhir, kepercayaan masyarakat pada pajak udah mulai goyah. Kasus-kasus pejabat pajak hidup glamor bikin rakyat muak. Orang kecil yang bayar PPN setiap kali belanja kayaknya ngerasa diperas, sementara konglomerat bisa punya seribu cara buat ngurangin kewajiban. SMI sempet jadi penambal krisis kepercayaan itu, dengan image bersih, teknokrat yang gak neko-neko. Tapi begitu dia mundur, siapa yang bisa jamin publik bakal tetap percaya?
Investor juga lihat hal yang sama. Mereka gak cuma lihat angka penerimaan, tapi juga trust level. Kalau sistem pajak dianggap rapuh, transparansi rendah, dan penegakan hukum pilih-pilih, arus investasi bisa ngalir ke negara lain di ASEAN. Vietnam, misalnya, udah mulai jadi magnet investor karena lebih agresif ngasih insentif pajak tapi tetap keliatan stabil.
Reformasi Pajak di Persimpangan
Warisan terbesar Sri Mulyani di Kemenkeu salah satunya adalah reformasi pajak. Dari program core tax system, digitalisasi e-faktur, sampai aturan pajak digital buat Netflix, Google, Spotify—semua itu langkah besar. Dia pengen bikin pajak lebih modern, transparan, dan gak ketinggalan zaman.
Tapi sekarang? Reformasi itu lagi ada di persimpangan. Bisa lanjut, bisa mandek, atau malah dibelokin arah sesuai kepentingan politik. Misalnya, pajak digital: apakah bakal diperkuat untuk ngatur big tech raksasa? Atau justru dilonggarin biar “investasi asing nyaman”? Atau pajak karbon yang udah lama digodok: jalan terus, atau ditunda demi jaga popularitas harga energi murah?
Di level teknis, DJP juga lagi transisi ke big data. AI buat deteksi penghindaran pajak udah mulai dipakai. Tapi semua itu butuh konsistensi, keberanian, dan integritas politik. Kalau fokusnya bergeser dari reformasi ke sekadar “bagi-bagi kue politik”, jangan heran kalau momentum hilang.
Rakyat di Tengah Ketidakpastian
Sekarang, mari balik ke rakyat biasa. Mereka yang tiap bulan dipotong PPh 21, yang tiap belanja kena PPN, yang bayar STNK kena pajak kendaraan. Buat mereka, drama elite soal Sri Mulyani mungkin terasa jauh. Tapi dampaknya nyata.
Kalau disiplin fiskal hancur, defisit melebar, ujung-ujungnya utang nambah. Kalau utang nambah, bunga naik, APBN makin berat. Dan ujungnya? Ruang fiskal buat subsidi pendidikan, kesehatan, bantuan sosial makin sempit. Jadi, meski mereka gak peduli detail kebijakan, dampaknya bisa terasa ke kantong sendiri.
Di sisi lain, kalau pajak makin gak dipercaya, kepatuhan bisa turun. Orang bisa makin males lapor SPT, makin banyak yang cari celah ngumpetin penghasilan. Ini snowball effect: makin rendah trust, makin kecil penerimaan, makin berat beban APBN.
Politik di Balik Mundurnya SMI
Gak bisa dipungkiri, mundurnya Sri Mulyani gak lepas dari intrik politik. Dia udah lama dikenal sebagai menteri yang “sering sendirian”. Sering jadi oposisi internal terhadap kebijakan populis. Sering gak segaris dengan elite politik yang kepengen fleksibilitas anggaran lebih besar.
Banyak analis bilang, inilah puncak tarik-menarik: teknokrasi vs populisme. Selama ini, teknokrasi selalu menang lewat figur SMI. Tapi begitu dia mundur, mungkin karena udah gak kuat lagi ngelawan, tanda arah politik ekonomi bisa berubah.
Bagi rakyat, ini bisa berarti era baru. Tapi era yang belum tentu lebih baik.
baca juga
- Apakah Gig Worker Perlu SPT Tahunan?
- Pajak TikTok Shop 2025
- Panduan Lapor PPN Online 2025 untuk Pebisnis dan UMKM
- Tarif PPh 21 Terbaru 2025
- Cara Isi SPT Tahunan Online 2025 untuk Karyawan dan UMKM
Masa Depan Keuangan Indonesia
Pertanyaannya sekarang: masa depan keuangan Indonesia mau dibawa ke mana? Ada dua jalur.
Pertama, jalur populisme. Dimana APBN jadi alat politik, pajak jadi instrumen mobilisasi, disiplin fiskal jadi nomor dua. Ini jalur yang manis di depan, pahit di belakang. Karena di awal rakyat senang: subsidi banyak, pajak dilonggarkan. Tapi di ujung, defisit meledak, utang bengkak, dan rakyat juga yang nanggung.
Kedua, jalur reformasi berkelanjutan. Dimana warisan Sri Mulyani diterusin, pajak makin digital, trust diperkuat, APBN tetap disiplin. Ini jalur yang susah di awal, gak populer, tapi lebih sustainable.
Menanti Babak Baru
Indonesia lagi di titik kritis. Mundurnya Sri Mulyani bukan sekadar pergantian menteri. Ini momen yang bakal nentuin arah ekonomi dan pajak ke depan. Apakah kita bakal tergelincir ke populisme, atau tetap disiplin dan reformis?
Investor, rakyat, dunia internasional—all eyes on us. Dan kalau salah langkah, generasi muda, termasuk Gen Z yang sekarang lagi produktif-produktifnya, bakal jadi yang paling berat menanggung. Karena merekalah yang nanti harus bayar harga kalau utang makin numpuk, kalau reformasi pajak mandek, kalau trust hancur.
Di tengah semua itu, satu hal jelas: masa depan keuangan Indonesia gak boleh digadaikan demi politik jangka pendek.