https://sst8.com/ Pajak Musisi Indie di Spotify & YouTube – Siapa Bilang Musik Gratisan?
Dulu, jadi musisi indie itu identik dengan gig di kafe kecil, ngejual CD indie press, atau numpang rekaman di studio teman. Sekarang, jalurnya beda. Spotify, YouTube, Apple Music, TikTok. Semua jadi panggung global. Lo bisa bikin lagu di kamar kos pake mic satu jutaan, upload, dan tiba-tiba didengerin ribuan orang di luar negeri. Uang pun ngocor, walau receh kalau dihitung per-stream.
Tapi kalau duitnya udah ngocor, muncul pertanyaan klasik: pajaknya gimana?
Spotify bayar royalti. YouTube bayar AdSense. TikTok kadang lewat kreator fund. Semua itu masuk kategori penghasilan. Kalau lo musisi indie asal Indonesia, entah lagunya trending di Jakarta atau masuk playlist di Jerman, duitnya tetap dihitung sebagai penghasilan kena pajak di Indonesia.
Sistem pajak kita gak peduli lo dapetnya dari label besar atau langsung via platform digital. Selama lo Wajib Pajak dalam negeri, punya NPWP, penghasilan itu ya wajib dilapor. Masuk SPT tahunan. Gak ada excuse “lagunya diputar di luar negeri jadi bebas pajak.”
Masalahnya, alurnya ribet. Spotify biasanya transfer lewat aggregator kayak DistroKid, TuneCore, atau CD Baby. Duitnya masuk ke PayPal atau Payoneer. Kadang langsung ke bank. YouTube lebih gampang: AdSense langsung ke rekening Indo. Tapi apakah pajak otomatis kepotong? Gak selalu.
YouTube ada aturan khusus: sejak 2021, kreator non-US kena withholding tax dari penonton di Amerika. Kalau lo isi form W-8BEN, pajaknya dipotong lebih kecil sesuai perjanjian pajak Indonesia–AS. Kalau gak isi, bisa kepotong 30%. Nah, potongan itu bisa lo klaim di Indonesia biar gak double.
Sementara Spotify? Dia jarang motong pajak langsung. Jadi uang yang masuk ke Payoneer/PayPal itu masih “kotor”. Lo yang wajib hitung, konversi ke rupiah pake kurs pajak, terus bayar sesuai skema PPh.
Buat musisi indie, ini sering bikin sakit kepala. Lo baru dapet Rp10 juta dari royalti, udah harus mikirin potongan 0,5% PPh Final UMKM atau tarif progresif. Apalagi kalau pemasukan gak stabil. Bulan ini rame, bulan depan sepi. Pajak tetap nagih per tahun.
Makanya banyak musisi indie yang ogah ribet. Duit ditarik cash, disimpen di e-wallet, gak dilapor. DJP pun belum agresif ke musisi kecil. Tapi tren global ke depan jelas: transparansi makin ketat. PayPal, Payoneer, dan bank luar negeri udah mulai ikut CRS (Common Reporting Standard). Artinya data keuangan bisa diintip otoritas pajak. Jadi sembunyi terus bukan solusi jangka panjang.
Sekarang bayangin ini: ada band indie dari Bandung, upload satu single ke Spotify via DistroKid. Lagu mereka viral di TikTok, streaming 1 juta kali. Spotify bayar sekitar $4000. Masuk Payoneer. Mereka tarik ke rekening Indo. Secara hukum, itu wajib dilapor di SPT tahunan. Kalau gak? Risiko dikejar pajak tetap ada.
Di sisi lain, ada argumen fairness. Musisi indie sering mikir, “gue udah susah payah bikin lagu, duitnya gak seberapa, masih kena pajak?” Tapi logika negara jelas: semua penghasilan kena pajak, mau kecil atau gede. Kecuali kalau total setahun lo masih di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) sekitar Rp60 juta. Di bawah itu ya gak kena PPh.
baca juga
- Apakah Gig Worker Perlu SPT Tahunan?
- Pajak TikTok Shop 2025
- Panduan Lapor PPN Online 2025 untuk Pebisnis dan UMKM
- Tarif PPh 21 Terbaru 2025
- Cara Isi SPT Tahunan Online 2025 untuk Karyawan dan UMKM
Yang menarik, ada juga perdebatan: apakah royalti musik ini masuk kategori penghasilan pasif atau aktif? Kalau pasif, skemanya bisa beda. Tapi karena musisi indie basically aktif bikin karya, promosi, maintain channel YouTube, ya sebenarnya itu penghasilan aktif.
Pemerintah juga lagi cari celah di ekonomi kreatif. Tahun 2025 sempet ada obrolan bikin insentif pajak untuk pekerja seni. Konsepnya mirip insentif UMKM, biar musisi indie gak kapok bayar pajak. Tapi implementasinya lambat.
Kalau dibanding negara lain, beda banget. Di UK misalnya, musisi bisa klaim hampir semua biaya produksi lagu: sewa studio, beli gitar, beli software DAW (Digital Audio Workstation), bahkan kopi di studio bisa dimasukin ke deductible expenses. Jadi pajaknya jadi ringan. Di Indonesia? Bisa juga klaim biaya, tapi butuh pencatatan super detail. Musisi indie jarang punya administrasi rapi kayak gitu.
Nah, gimana masa depan pajak musisi indie? Prediksi gue, DJP bakal bikin sistem lebih simple kayak pajak konten kreator. Mungkin integrasi langsung ke platform. Bayangin, tiap kali Spotify transfer royalti, 0,5% langsung dipotong buat pajak Indonesia. Kayak PPh final otomatis. Jadi musisi gak usah ribet lagi.
Kalau udah kayak gitu, transparansi jadi tinggi. Tapi pertanyaan fairness balik lagi: apakah negara juga kasih benefit? Misalnya potongan pajak buat musisi yang invest di alat musik atau produksi album. Kalau enggak, musisi bisa ngerasa diperas.
Realitanya, musik indie di era digital udah bukan hobi lagi. Udah jadi bisnis, meski skalanya mikro. Negara bakal makin masuk ke ranah ini. Pajak musisi indie di Spotify dan YouTube bukan lagi isu “niche”, tapi bagian dari pajak ekonomi digital global.
Dan kalau dipikir-pikir, agak ironis juga. Lagu lo bisa diputar gratisan di Spotify, tapi negara tetap “nge-charge” lewat pajak. Jadi, siapa bilang musik gratis?
Lo mau gue lanjutin artikel ini dengan simulasi angka, misalnya musisi indie dapet Rp100 juta setahun dari YouTube dan Spotify, terus dihitung pajak UMKM vs progresif? Biar keliatan nyata seberapa berat bebannya di dompet.